Kamis, 29 Maret 2012

Jumat, 16 September 2011

Kesalahan  Logika  Menjadi Pencetus Lahirnya Kesenjangan Sosial di Masyarakat
by.nurhidayah

Manusia pada dasarnya lahir dalam kondisi merdeka. Ia dilahirkan dari rahim ibunya dengan segenap seluruh hak kemanusiaan dan kesempurnaannya. Hal itu sebagaimana tersurat dalam Q.S At-tiin, ayat 4. “Sesungguhnya Aku (Allah) telah menciptakan manusia dengan bentuk yang  sempurna-sempurnanya”. Pengakuan tentang hak, telah rinci diterangkan Al Qur’an[i], sebelum ada ungkapan Eropa tentang Declaration of Human Right. Bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama, dan hal itu dijamin oleh Tuhan. Ini berarti secara  teologi social kedudukan manusia satu dengan yang lain sama. Dari sudut teologi sosial, setiap individu memiliki kebebasan atau free will sesuai martabat kemanusiannya. Ia memiliki “human destiny” yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.
Akan tetapi dewasa ini kesenjangan social di negeri loh jinawi ini ternyata terus  meningkat. Walaupun kesenjangan social memang bukan hanya menjadi permasalahan atau PR (pekerjaan rumah)  ilmuwan social di Indonesia saja, melainkan juga menjadi permasalahan hampir di semua negara di dunia. Baik itu yang  menganut ideologi  komunis, sosialis, bahkan demokratis. Mulai dari negara teokrasi ataupun negara demokrasi. Satu hal yang sangat disayangkan kesenjangan social di masyarakat tersebut ternyata tanpa disadari terbentuk  secara otokratif. Otokratif yang ada bukan berlandaskan atas pengakuan keindividuan manusia itu sendiri ataupun atas kesadaran otoritas kemanusiaannya tetapi menggunakan otoritas keTuhanan. Entah itu sebagai sebuah kepasrahan total perwujudan kesadaran akan kekuasaan Tuhan atau  muncul karena adanya kesalahan logika berpikir manusia.  Disini kita tidak akan membahas disini tentang  salah siapa atau  motivasi mana yang seringkali menjadi pemicu lahirnya kesenjangan social di masyarakat, melainkan marilah kita diskusikan bersama tentang adanya kontribusi logika sebagai pencetus munculnya kesenjangan social yang ada dalam masyarakat.   
Realitas di masyarakat menunjukan bahwa ada kontribusi yang cukup signifikan logika  dalam merekonstruksi  lahirnya kesenjangan social di masyarakat. Para pakar logika mengatakan hal ini sebagai fallacy of dramatic instance. Seorang pakar dalam Badruzaman (2009) menyebutkan bahwa contoh kesalahan logika berpikir tersebut  dapat terlihat dengan adanya determinisme restrospektif bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang sejarah. Kita miskin akibat proses sejarah yang panjang. Sistem colonial telah menguras sendi-sendi perekonomian kita. Para petani sepanjang sejarah memang selalu ditindas. Tidak mungkin kita mengatasi kemiskinan yang sudah dibentuk sejarah selama berabad-abad.    Selain itu  adanya kesalahan dalam logika berpikir  yang bersumber pada otoritas ketuhanan adalah argumentum  ad  verequndiam. Sebuah  pola pikir yang menurut para pakar logika  menekankan pada adanya realitas orang yang menyebut iman  kepada takdir sebagai penerimaan dan  kepasrahan  pada problem kemiskinan.   
Manusia  seringkali  mengalami  keterbatasan  dalam memahami  alam dan manusia untuk akhirnya mampu memberikan solusi atas fenomena kemanusiaan itu sendiri. Mereka pada akhirya  terjebak pada pola pikir yang salah bahwa kepasrahan kepada nasib atau takdir, dengan alasan penerimaan, pemahaman kerendahatian dan ketundukan pada Sang Khaliq pada akhirnya diimplemantasikan dengan menerima begitu saja takdir yang ada, nasib yang diterima tanapa usaha tanpa ada perlawanan (perjuangan). Sehingga ketika kemajuan  aktivitas ekonomi, social politik  budaya terus berkembang, mereka pada akhirnya terjebak dengan dilema. Mereka tidak mau ditetapkan pada struktur social yang tidak diinginkannya. Namun ia juga tidak layak (baca: tidak bisa diterima) dalam struktur social di atasnya.  Kesenjangan/kepincangan social terus bermunculan karena di satu pihak (orang yang cukup/mempunyai modal)  tidak mau  atau enggan  terus membagi kekayaannya kepada pihak yang belum beruntung (penganut determinisme restrospektif). Namun  di sisi lain para pihak yang merasa kurang beruntung terus terjebak dalam logika berpikir yang keliru. Mereka menerima nasib  mereka dengan argument, ini adalah ketetapan Tuhan. Sabar , menerima (qonaah) adalah  sebuah keniscayaan. Akhirnya mereka  rela bahkan dengan kesadaran tinggi  bekerja dan mendapat  sesuap nasi atau harta dengan meminta-minta. Mereka mengatakan  pekerjaan itu tidak merugikan orang lain. Mungkin satu dua kali tidak menjadi masalah, akan tetapi ketika pekerjaan ini terus dilakukan sepanjang masa pada akhirnya menimbulkan permasalahan social yang mencolok.  Ketika pemberi (penyantun) sudah bosan) atau jenuh terus memberi bantuan (derma), para peminta-minta  yang awalnya meminta dengan sopan mulai anarkis.  Akhirnya hal ini malah menimbulkan persoalan baru. Kriminalitas meningkat.
Berdasarkan realitas di atas tuntutan akan  teori-teori ilmu social yang solutif diharapkan mampu memberikan wacana baru terhadap kesalahan logika berpikir yang berkembang. Sehingga diharapkan mampu meredam timbulnya kesenjangan social di masyarakat. Dibutuhkan peran ulama, ilmuwan dan kerjasama berbagai pihak untuk terus melakukan introspeksi terhadap  fenomena kesalahan logika berpikir masyarakat sehingga mampu menjadi basic problem solving.


[i] Abad Badruzzaman, Dari  Teologi  Menuju  Aksi: Membela  yang Lemah Menggempur Kesenjangan, Yogyakarta, April 2009 

Sabtu, 06 Agustus 2011

Rekonstruksi Peran Mahasiswa Muslim dalam Pemberdayaan Masyarakat


   Rekonstruksi  Peran  Mahasiswa  Muslim dalam  Pemberdayaan  Masyarakat
by. nurhidayah
“Let me win, but if I cannot win, let me be brave in the attempt”
biarkan aku menang, jika tidak bisa menang, biarkan aku mencoba nya